April 2011 - INFORMATIKA SMK N 2 TARAKAN
Headlines News :

Be Smart, Nice, And Honest

Don't forget with "Responsibility"!

Blog Administrator 2010/2011

Written By Suheriyanto on Jumat, 08 April 2011 | 4/08/2011 03:20:00 AM

By Lead Admin

Period : March - June 2011

Advisor : Drs. Sarmin
Samsi, S.Pd.
Leader : Suheriyanto, S.Pd.

Senior Technical Support:
1. Muhammad Rajabi, S.Pd.
2. Sitti Wahyuni, S.Kom.
3. Deni Tri Atmoko, SST.

Junior Technical Support:
Class X
1. Leader : Fajar Aulia Rahmatullah
2. Secretary : Andi
3. Member : All Student Class X

Class XI
1. Leader : Setiawan Jodi
2. Secretary : Rika, Chandra
3. Member : All Student Class XI

Class XII
1. Leader : Adi Purnomo
2. Secretary : Harry Suwandi
3. Member : All Student Class XII

Balada Pengamen Cilik

Written By Informatika SMKN2 Tarakan on Rabu, 06 April 2011 | 4/06/2011 10:34:00 PM


Oleh: Nurul Pratiwi

Embun pagi membasahi jendela kamarku yang usang. Suara kicauan burung bernyanyi terdengar sampai ke gendang telingaku. Suara adzan shubuh membangunkanku dari mimpi-mimpiku. Aku segera bergegas mengambil mukena yang tergantung di almari. Suara rintikan air hujan yang masih terus berjatuhan tak mengurungkan niatku untuk batal sholat shubuh berjamaah di musholla terdekat. Kubasuh telapak tanganku hingga telapak kakiku dengan air wudhu yang mengalir deras.

Beberapa menit kemudian, Igomah di kumandangkan oleh salah seorang muadzin. Seorang imam yang kukenal bernama Rahman terlihat memimpin sholat jamaah. Kesunyian dan ketenangan mulai terasa saat sholat shubuh berlangsung khusyuk.

***

Mentari pagi mulai memancarkan wajahnya ke segala arah. Cahanya memasuki jendela kamarku yang sudah kubuka seusai sholat shubuh di musholla. Sepertinya hari ini akan menjadi hari yang penuh tantangan untukku. Meskipun hari ini hari minggu. Selapas menyelesaikan seluruh kerjaanku. Tepat pukul sebelas siang. Aku harus segera bersiap menyiapkan kamera photograperku dan berlalu meninggalkan rumah dengan scooter miniku.

Udara di luar yang sangat panas dan terik matahari yang menyilaukan mata, sama sekali tak menghalangiku untuk tetap melakukan hobiku yang satu ini. Melawan hawa panas di sepanjang perjalanan, tak sedikit aku sudah menghasilkan beberapa gambar menarik yang telah aku ambil selama dalam perjalanan. Photografi sudah menjadi hobiku sejak kecil untuk memantapkan cita-citaku menjadi seorang photograper terkenal.

Sesampai di jalan R.A Kartini tepatnya di pusat perbelanjaan kaki lima. Ada seorang pedagang kelapa muda yang menarik perhatianku. Kebetulan, kerongkonganku terasa kering. Panasnya matahari membuatku kehausan. Kuberhentikan scoterku di depan pedagang tersebut lalu melepas helm. Kulangkahkan kakiku masuk ke dalam warung sederhana dan kupesan sebuah kelapa muda agar dapat melegakan tenggorokanku.

Tak jauh dari pandanganku. Di sudut deretan pedagang kaki lima, aku melihat seorang rombongan anak jalanan yang sangat lesu, baju mereka yang sudah tak layak pakai, rambut aca-acakan, baju kumuh, wajah mereka yang kelihatan sangat rembes dan kaki kecil mereka yang berceker tak memakai sandal seperti terbakar oleh aspal panas. Beberapa anak membawa gitar kecil sebagian lagi menyumbangkan suara indah mereka. Mereka semua tak kenal lelah dan tetap bersemangat menghibur pelanggan kaki lima yang di sibukkan memilih barang-barang dan menawar-nawar harga barang yang akan mereka beli.

Sebuah kelapa muda yang telah sedia di hadapanku segera aku hisap dengan sebatang sedotan. Tenggorokanku terasa sangat segar. Entah mengapa, pandanganku tak lepas dari pengamen-pengamen kecil yang sibuk dan serius menghibur setiap orang yang lewat di hadapan mereka. Selembar kain mereka sodorkan seusai menyumbangkan beberepa lagu. Sepertinya tak banyak yang mereka dapatkan. Setiap orang hanya memberi sekeping uang logam yang jumlahnya hanya seribu paling besar.

Sebelumnya, aku memang tak pernah melewati jalan sekitar sini. Baru kali ini aku bertekad melewatinya. Mungkin aku bisa mendapatkan photo-photo yang lebih menarik dari tempat sebelumnya. Ternyata memang benar. Bukan hanya pemandangan dan suasananya yang menarik perhatianku. Namun, seluruh penduduk yang ada di sini juga sangat ramah-ramah walaupun belum saling mengenal. Aku yang baru kali ini melewati jalan ini terasa sudah seperti keluarga sendiri.

***

Kuambil dompet yang terselip di kantong celanaku untuk membayar sebuahkelapa muda yang seharga dua ribu saja. Kamera, aku kalungkan di leherku. Langkahku tak langsung ke arah scoter yang aku parkirkan. Melainkan, berjalan ke arah rombongan pengamen cilik yang masih terus melantunkan suaranya. Sebelumnya, aku juga mengambil beberapa gambar dari kejauhan. Tema photoku kali ini tentang pengamen cilik. Sepertinya menarik. Dari segi apapun aku mencari hasil gambar yang sangat meksimak dari berbagai kejadian-kejadian pengamen di sekitar jalan R.A Kartini ini.

Dua langkah lagi aku sampai di hadapan kumpulan pengamen yang beristirahat di pinggir jalan sambil menyaksikan keramaian kota yang terpasang di depan mata mereka.

“Hai. Adik-adik” Sapaku kepada mereka. Aku tunggu beberapa menit tak juga ada tanggapan dari mereka maupun salah satu diantara mereka.

“Hai. Selamat siang Adik-adik” Aku kembali menyapa mereka lagi. Sama, tak ada yang memerhatikanku.

“Hai” Sapaku lagi. Ternyata sama juga. Mereka tetap saja membisu kepadaku. Seluruh pandangan mereka tetap terpaku pada kendaraan yang berlalu lalang di hadapan mereka. Mereka tak peduli dan risih sekalipun saat asap kendaraan mengenai wajah mereka begitu pun debu-debu yang mengotoro wajah mereka.

“Hai. Selamat siang Adik-adik” Aku kembali menyapa mereka dengan suara yang sedikit agak keras. Sebab, mungkin mereka tak mendengarku karena suaraku kalah dengan suara kendaraan yang sangat bising melawati di hadapan mereka.

“Ha ?” Ucap salah seorang pengamen cilik itu. Sebut saja namanya Dede. Ia melihat ke arahku dengan kaget. Aku hanya membalasnya dengan senyuman dan langsung ikut duduk di trotoar pinggir jalan. Aku duduk tepat di samping kanannya.

“Adik lagi ngapain di sini ?” Tanyaku kepada Dede. Dede masih terdiam melirik mataku. Ekspresi wajahnya masih kaget melihatku. Sementara, kawan-kawannya yang lain melihat ke arahku. Aku tersenyum kepada mereka semua.

“Hai” Sapaku kepada mereka semua sembari melambaikan tangan di hadapan mereka. Wajah mereka lucu-lucu saat melihatku keheranan. Hampir sama semuanya pada bengong. Aku tertawa melihat ekspresi wajah mereka. Tiba-tiba saja aku akngsung mengambil gambar dari ekspresi wajah mereka yang nmasih bengong saja.

“Wow. Keren juga” Kataku melihat hasil gambar ekspresi dari wajah mereka. Dede dan kawan-kawannya itu masih saja bengong. Mungkin mereka heran dengan kelakuanku di hadapan mereka.

“Heh !” Aku memukul pelan pundak Dede agar dapat mengagetkannya.

“Eh. Iya”

“Adek-adek lagi ngapain di sini kog dari tadi bengong ? Nggak lanjut ngamen lagi kah ?” Tanyaku kepada mereka.

“Oh. Kami lagi istirahat. Kamu siapa ? Kog tahu-tahu nyapa Kami di sini ? nggak malu di lihat banyak orang ?” Tanya salah seorang teman Dede yang ternyata bernama Fatir. Aku tak menjawab pertanyaannya. Tapi, aku hanya tersenyum dengan mereka. Mereka pun membalas senyumku dengan riang.

“Ya. Kamu siapa ?” Tanya Arin. Si gadis kecil berambut pirang dan keriting itu.

“Nama kakak Marsya. Panggil Saya kakak aja ya” Jawabku.

“Baik Kak” Jawab si Rangga yang terbilang paling kecil sendiri diantara mereka berlima.

“Bagus !” Jawabku singkat.

“Tujuan Kakak kemari mau ngapain ?” Tanya Luci. Seorang gadis tomboy yang paling besar di antara mereka semua. Nadanya bertanya seperti akan menantangku.

“Kakak Cuma mau berteman aja dengan kalian. Boleh ?” Jawabku dan aku kembali bertanya apa aku boleh bergabung bersama mereka.

“Boleh banget, Kak” Mereka menjawab semua.

“Boleh kakak tahu di mana rumah kalain ?” Tanyaku.

“Boleh. Tapi, setelah Kami selesai mengamen” Jawab Arin dengan polos. Kakak-kakanya hanya tersenyum melihatnya dan melihatku.

“Ya sudah Kakak bantu ya mengamennya. Ayo kita kerja lagi !” Ajakku. Aku berusaha untuk membantu mereka mencari nafkah. Mudah-mudahan dengan bentuanku, penghasilan mereka jadi semakin bertambah hari ini. Supaya, mereka bisa makan.

Panas matahari yang semakin membara tak menyurutkan niat mereka untuk tetap mengamen dari tempat satu ke tempat lainnya. Kendaraan yang berlalu lalang merupakan peluang besar untuk mereka mendapat penghasilan yang lebih. Saat lampu merah menyala mereka sedah siap di pinggiran jalan untuk menghibur semua pengendara jalan. Aku merasa kelelahan sat mengikuti mereka berjalan kesana-kemari. Sedangkan, aku melihat tek secuilpun ada kelelahan di wajah mereka. Yang ada hanya keriangan.

Keramaian kota malah semakin memeberi mereka kesenangan tersendiri sebagai seorang pengamen cilik jalanan. Padahal, resiko yang harus di tanggung di keramaian jalan sangt besar. Selain angka kecelakaan yang semakin tinggi, mereka juga harus berhati-hati saat razia datang untuk membawa mereka pergi dari habitat mereka sebagai pengamen.

***

Nasib pengamen memang tidak kecil. Belum lagi, jikalu mereka tidak mendapatkan hasil, terpaksa mereka tidak makan seharian. Malang sekali nasib mereka.

Saat aku merasa kelelahan membantu mereka alu putuskan untuk beristirahat sejenak di pinggir jalan sambil menikmati pemandangan keramain kota du jalan R.A Kartini ini. Karena bete, aku mengambil kamera dan memotret beberapa gambar aksi pengamen yang sibuk menghibur pengguna jalan.

Berjam-jam aku menunggu mereka, belum juga mereka berhenti mengamen. Scoter yang kuparkirkan aku pindah di pohon tempat aku beristirahat. Hari sudah semakin sore, anak-anak kembali menghampiriku.

“Kak, Kami sudah selesai. Maaf bikin Kakak lama menunggu” Ucap Dede dengan ekspresi wajah yang bersalah.

Aku hanya tersenyum memaklumi mereka.

“Ayo, sekarang Kita pulang” Ajak Fatir tak sabar ingin kembali ke rumahnya.

“Iya. Ayo, katanya kakak mau ikut ?” Lanjut Rangga sembari menarik tanganku.

***

Perjalanan menuju perkampungan mereka ternyata tidaklah dekat harus melewati beberapa pos ronda. Kami semua berjalan kaki. Sementara, scotrku kami tuntun bersama-sama. Melawati sungai berarus deras dan jembatan kayu. Dalam benakku berkata, ini pengalamanku pertama kalinya mengenal pegamen cilik.

Di sepanjang perjalanan, tak sedikit yang dapat menarik perhatianku untuk mengambil beberapa gambar menarik yang aku temui. Setengah jam perjalanan. Barulah kami sampai di perkampungan. Mungkin tak aneh bagi mereka. Tapi, anaeh bagiku. Perkampungan kumuh dan sangat kotor. Penuh dengan berbagai sampah yang berbau busuk. Perkampungan ini tak lain adalah perkampungan para pemulung. Jauh dari kota tadi. Gedung-gedung megah terlihat begitu menjulang tinggi. Aku yang sampai di perkampungan itu, mulutku hanya membisu. Lebih baik aku terdiam dari pada aku berbicara nantinya malah menyinggung perasaan mereka semua. Secangkir teh hangat telah di siapkan oleh Luci.

“Ini Kak minumnya. Maaf beginilah keadaan tempat tinggal Kami” Kata Dede.

“Oh, tidak masalah kog Dek” Jawabku.

Tanpa berpikir panjang, aku langsung minum secangkir teh hangat di hadapanku. Sebenarnya, aku jadi tidak selera minum. Karena, banyak sampah yang berbau menusuk hidungku. Tapi, aku juga tidak ingin mereka kecewa jikalau aku menyia-nyiakan hidangan dari mereka untukku.

“Boleh Kakak mengambil gambar dari kehidupan di kampung ini ?” Tanyaku.

“Oh, boleh Kak. Silahkan” Jawab Luci dengan senyumannya yang ternyata manis itu. Padahal, awalnya dia mahal sekali untuk mengeluarkan senyumnya itu kepadaku.

Suasana kehidupan di kampung ini sangat berbeda dari yang lainnya. Sebagai seorang photograper, aku harus cerdas dalam memilih tempat indah yang cocok di photo tetapi, tempat tersebut juga harus unik dan menarik.

Tanpa terasa waktu menunjukkan pukul lima sore. Sudah waktunya aku kembali ke rumah. Sebelumnya aku berterimakasih kepada pengamen-pengamen cilik tersebut. Dari mereka aku bisa mendapatkan pengalaman-dan pelajaran yang baru.

***

Senja di sore hari menyuruhku unutuk segera pergi meninggalkan tempat itu. Oarang tuaku pastii sudah menungguku di rumah. Setelah berpamitan dengan seluruh penduduk perkampungan itu. Aku segera menyalakan skoterku dan melaju menelusuri jalan yang berkelok-kelok. Inilah pengalamanku hari ini. Sangat melelahkan. Namun, sangat begitu menyenangkan.

Jogja Berselimut Tangis

By : Rika Nur Puspadewi
Hembusan angin disore hari yang membuat rambut pendekku berhamberan kesana kemari. Asap tebal dari puncak gunung merapi yang tinggi menjulang kelangit, turut menghiasi suasana sore ini. Tatapanku tak pernah lepas memandang gelapnya awan nan tebal yang ada diatas gudung tinggi itu.
Hujan debu turut menghiasi suasana sore ini. Keadaan kota yang tertutupi oleh tebalnya debu, bak London yang berselimuti salju tebal.
“Ya Allah, mengapa engkau ubah keadaan kota kelahiranku tersayang ini? Yang dulu sebelum kutinggal merantau, kota ini kota yang makmur. Tapi mengapa telah berbeda? Mengapa?” tanyaku dalam hati dibalik lamunanku.
Tetesan air mata tanpa sadar keluar dari kedua kelopak mataku. Tanpa panjang lebar kuusap air mata yang membasahi pipiku ini dengan sebuah saputangan kecil berwarna biru terang.
“Ieh. Cowok apaan sih aku ini. Cengeng banget! Semangat Bayu! Semangat!” kataku membangkitkan semangatku yang dikit demi sedikit memudar ketika melihat kondisi kota gudek yang kusayangi kini cukup memprihatinkan.
Aku memutuskan untuk melangkahkan kakiku dikota pelajar yang telah kutinggal pergi merantau. Kulangkahkan kakiku menyusuri toko demi toko yang ada di kompleks pertokoan malioboro yang penuh dengan debu tebal. Hanya dengan cara inilah kucurahkan semua rasa rindu yang selama ini kupendam. Kulangkahkan kakiku dengan pasti. Kupandangi toko demi toko yang aku lewati. Kuingat dan kukenang masa-masa indahku bersama keluarga dan sahabat-sahabatku.
Kakiku tak lagi melangkah. Kuberhenti tepat didepan sebuah warung kecil yang menjual makanan khas Yogyakarta, yaitu gudeg. Sebuah warung kecil milik bulek Sud ini dulu sering kusinggahi. Sudah lama aku tak menikmati hidangan ini. Akupun memutuskan untuk mengisi perutku dan melampiaskan rindu yang kumiliki pada makanan yang berisikan nangka muda, daging sapi, serta rempah-rempah lain yang memberikan kenikmatan didalamnya.
Kutundukkan kepalaku untuk memasuki pintu pendek yang menyapa pelanggan setia bulek Sud. Rasa yang enak nan lezat, bulek buktikan lewat banyaknya para pelanggan setia bulek. Demi mendapatkan gudeg buatan bulek, aku rela menghabiskan waktuku berdiri diantara banyaknya orang. Kutatapi hidangan-hidangan yang ada. Ingin rasanya ku menghabiskan semua makanan itu. Tapi keinginanku terhalang oleh banyaknya orangyang juga ingin menikmati gudek terenak di Yogyakarta.
Akhirnya salah satu pelanggan bulek selesai menikmati hidangan yang tersedia di depannya. Setelah ia menjauh dari tempat duduk, tanpa pikir panjang kucepat-cepat duduk di kursi panjang yang telah disediakan oleh bulek Sud.

“Mbak.” kataku sambil kuangkatkan tangan kananku untuk memesan makanan pada seorang gadis yang sedang asik melayani pelanggan yang lain.
“Iya mas. Sampean pesen opo?” kata gadis itu dengan lemah lembut.
“Gudek sito’ karo es jeruk sito’.”
“Ya. Sebentar. Tak buatin dulu.”

Setelah gadis itu mendengar pesananku, ia yang dibantu dengan seorang nenek renta langsung membuatkan pesananku. Selang lima menit, pesananku telah siap di hadapanku. Dengan lahap kulangsung menghabiskan mekan yang telah tersedia. Sepertinya diantara para cacing yang ada dalam perutku masih ada yang belum kebagian makanan, sehingga aku memesan kembali satu porsi gudeg plus es jeruk.

xxx

Setelah dua porsi gudeg pindah kedalam perutku, aku kembali melangkahkan kakiku menjusuri kota pelajar yang kini penuh dengan debu. Saat ku langkahkan kakiku dengan pasti di atas tebalnya debu yang menyelimuti kota, tiba-tiba…

“Yu…”
“Kayak ada yang panggil aku. Sopo yo?” kataku heran sembil menengokkan kepalaku kekanan dan kekiri.
“Neng mburi mu.” kata seorang pemuda yang sedang duduk tenang diatas andong berwarna biru.
“Owh… kowe to, Bejo.”
“Iyo. Arep nengendi kowe?”
“Aku arep mlaku-mlaku.”
“Reno, melok aku.”
“Yo…” kataku sambil menaiki andong milik Bejo, sahabatku dulu semasa SMA.

Kemudian kami berkeliling kota menggunakan andong milik Bejo. Debu yang ada dimana-mana memaksaku mengenakan masker untuk melindungiku agar tidak sesak nafas.

xxx

Magma berwarna merah terang membelah gelapnya malam. Mengalir dari puncak gunung merapi turun mengejar para penduduk yang ada di lokasi daerah merapi. Bunyi ledakkan yang amat keras dari gunung itu, menggema jelas di gendang telingaku, bak suara bom yang meledakkan suatu kota atau daerah. Betapa perihnya kumelihat suasana malam ini.
Kutermenung melihat makma merah yang terlihat jelas. Tetesan air mata turut menemani lamunanku saat ini. Kuhapus semua rasa malu yang kumiliki, tanpa henti ku teteskan air mataku.
“Ya Allah, semoga penderitaan yang saudara-saudaraku alami lekas berakhir. Amin.” kataku dibalik lamunan dan tangisku sambil memandang magma merah yang terlihat jelas laksana serpihan api yang menyala terang.
Tak ada yang bisa kuberikan untuk membantu para korban merapi. Hanya doa yang selalu keluar dengan lembut dari bibir tebalku. Semoga keadaan Yogyakarta dan dareah lainnya yang menjadi korban, kembali seperti semula. Dan semoga para korban diberikan ketabahan oleh Allah SWT. dalam menjalani semua cobaan yang diberikannya. Ketahuilah bahwa Allah takkan memberikan cobaan bagi umatnya melebihi kekuatan yang dimiliki umatnya tersebut. Amin.

Tentang Hidup

Oleh: Nurul Pratiwi

Hidup bagaikan garis lurus
Tak pernah kembali ke masa lalu
Hidup bukan bulatan bola
Tiada ujung dan tiada pangkal

Di setiap detik ...
Hilang jatah menikmati dunia
Di setiap langkah ...
Hilang jatah menikmati hidup

Beribu-ribu cobaan
Turut mewarnai kehidupan
Beribu-ribu senyuman dan tangisan
Turut memberi gambaran hidup

Seiring berjalannya waktu
Nafas hidup semakin berkurang
Semakin lama semakin mendekat
Ke titik terakhir

Pengorbanan seorang ayah

By : Rika Nur Puspadewi  

Ayah, rambut ayah kini telah berubah menjadi kecoklatan setelah sebelumnya rambut yang hitam itu memudar menjadi putih. Bila ayah memegang tanganku, akan terasa sekali genggamannya yang dulu kokoh, kini lambat laun semakin gentar. Ketakutan ini menghantui diriku jika aku kehilangan sosoknya. Sosoknya begitu teramat aku cintai dan ku banggakan.

Saat keluargaku menggalami krisis ekonomi, ayah berkerja keras membanting tulang demi keluarga kami. Hatiku terasa sesak rasanya ingin menangisi betapa bodohnya aku yang tak mampu menolong ayah memperbaiki kondisi keenomian keluarga kami.

Hanya do'a yang mampu kupanjatkan kepada sang Pencipta Alam ini, berharap ayah selalu diberi kesehatan agar dapat berkerja keras untuk memenuhi keekonomian keluarga kami.

Barbagai pekerjaan telah ditekuninya dari pekerjaan memperbaiki listrik hingga bekerja sebagai kuli panggul hanya demi keluarga kami. Seberat apapun pekerjaan itu, ayah tetap saja berusaha tersenyum, tak ada kesedihan di wajah ayah yang lambat laun berkeriput.

Mengapa begitu berat hidup ini? Pertanyaan itu yang selalu membayangi pikiranku. Pada saat kondisi keuangan kami menurun dan pada saat orang tua ku sibuk kerja keras, aku dan adik ku seenak – enak membuang-buang listrik dengan menyalakan TV berjam-jam.

Kadang, ketika ayah mengetahui bahwa TV itu dari pagi tidak mati, terdapat kesedihan di parasnya. Dan setiap aku melihat kesedihan itu di paras ayah, aku langsung bergegas mematikan TV tersebut dan melakukan hal-hal yang membuat ayah senang dan tak bersedih lagi.

Senyumnya yang tak seindah dulu membuatku ingin selalu memeluknya. Suaranya yang kini tak lantang lagi, seolah sebagai perlambang usia ayah sudah tak muda lagi. Tetapi ayah masih saja tekun bekerja.

“Andai saja diusiaku yang dini ini, aku bisa bekerja untuk membantu ayah mencukupi keekonomian kami. Pasti ayah sudah tak perlu lagi bakerja keras seperti sekarang ini untuk mencukupi keekonomian kami.” Kataku dalam hati setiap ku sedang merenung tentang keadaan kami.


Hatiku sering sekali sedih saat melihat ayah yang sedang membaringkan badannya di kasur yang empuk. Pada saat tidur itu lah, ayah melepaskan semua beban dalam dirinya. Entah beban dari pekerjaan-pekerjaan itu atau pun baban-beban yang lainnya.

Sedih sering melanda ketika melihat ayah pulang dari tempat kerja nya………….

Setiap ayah pulang dari tempat kerjanya, aku pun bergegas membuatkan secangkir teh hangat untuk dirinya. Agar badannya terasa lebih terasa segar.

Terkadang aku juga sering sedih ketika melihat ayah mengalah tentang makanan dengan kami anak-anak nya. Ayah lebih pilih makan nasi dengan kerupuk, padahal waktu itu sedang ada telur bebek yang baru saja kami beli. “Biar saja telur itu kalian makan, ayah makan ini saja.” Hatiku sangat teriris ketika mendengar perkataan ayah tersebut.

Air mata ku terasa ingin menetes dipipiku ini. Tapi seperti ada yang tertahan di batin ku ini. Mengapa ini semua harus terjadi di keluargaku???????? Pertanyaan itu juga yang selalu membayangi tidurku. Sehingga aku sering sekali terlambat tidur hanya untuk memikirkan hal itu

Saat aku tak bias tidur, aku pun selalu keluar rumah dan melihat ke atas langit yang penuh dengan kelap-kelip bintang sambil berkata :

“YA ALLAH……”
“Mengapa engkau memberi jalan yang berliku pada keluarga kami YA ALLAH?”
“MENGAPA?”

Sesekali ku berteriak dan meneteskan air mata ku…

Diumurnya yang tak lagi muda, ayah masih saja tekun bekerja untuk keluarga kami. Aku sangat bangga memiliki ayah sepertinya. Mungkin hanya beliau lah ayah terhebat dari ayah-ayah yang ada di dunia ini.

Setiap ayah sedang bercerita, dengan senyumku yang penuh kebahagiaan mataku tak pernah luput memandanginya . Entah itu cerita serius, atau sebuah gurauan yang membuat kami tertawa lepas bersama-sama dengannya. Bicaranya sungguh menyenangkan, dari yang sederhana hingga ke topik yang serius. Meski kini pendengarannya sudah tak sempurna lagi.

Terkadang aku harus rela mengulangi kata-kataku hingga beberapa kali. Ada rasa bersalah jika tak sengaja aku berkata dengan suara yang agak keras karena pendengarannya yang tak seperti dulu lagi.

Jika saja aku mampu berada di sampingmu di sisa hidupmu. Maafkan aku ayah, atas ketidakmampuan anakmu ini untuk bersama menemani hari-hari mu !

Misteri

Teknologi

 
Support : Creating Website | Johny Template | Mas Template
Copyright © 2011. INFORMATIKA SMK N 2 TARAKAN - All Rights Reserved
Template Modify by Creating Website
Proudly powered by Blogger