Balada Pengamen Cilik - INFORMATIKA SMK N 2 TARAKAN
Headlines News :

Be Smart, Nice, And Honest

Don't forget with "Responsibility"!
Home » » Balada Pengamen Cilik

Balada Pengamen Cilik

Written By Informatika SMKN2 Tarakan on Rabu, 06 April 2011 | 4/06/2011 10:34:00 PM


Oleh: Nurul Pratiwi

Embun pagi membasahi jendela kamarku yang usang. Suara kicauan burung bernyanyi terdengar sampai ke gendang telingaku. Suara adzan shubuh membangunkanku dari mimpi-mimpiku. Aku segera bergegas mengambil mukena yang tergantung di almari. Suara rintikan air hujan yang masih terus berjatuhan tak mengurungkan niatku untuk batal sholat shubuh berjamaah di musholla terdekat. Kubasuh telapak tanganku hingga telapak kakiku dengan air wudhu yang mengalir deras.

Beberapa menit kemudian, Igomah di kumandangkan oleh salah seorang muadzin. Seorang imam yang kukenal bernama Rahman terlihat memimpin sholat jamaah. Kesunyian dan ketenangan mulai terasa saat sholat shubuh berlangsung khusyuk.

***

Mentari pagi mulai memancarkan wajahnya ke segala arah. Cahanya memasuki jendela kamarku yang sudah kubuka seusai sholat shubuh di musholla. Sepertinya hari ini akan menjadi hari yang penuh tantangan untukku. Meskipun hari ini hari minggu. Selapas menyelesaikan seluruh kerjaanku. Tepat pukul sebelas siang. Aku harus segera bersiap menyiapkan kamera photograperku dan berlalu meninggalkan rumah dengan scooter miniku.

Udara di luar yang sangat panas dan terik matahari yang menyilaukan mata, sama sekali tak menghalangiku untuk tetap melakukan hobiku yang satu ini. Melawan hawa panas di sepanjang perjalanan, tak sedikit aku sudah menghasilkan beberapa gambar menarik yang telah aku ambil selama dalam perjalanan. Photografi sudah menjadi hobiku sejak kecil untuk memantapkan cita-citaku menjadi seorang photograper terkenal.

Sesampai di jalan R.A Kartini tepatnya di pusat perbelanjaan kaki lima. Ada seorang pedagang kelapa muda yang menarik perhatianku. Kebetulan, kerongkonganku terasa kering. Panasnya matahari membuatku kehausan. Kuberhentikan scoterku di depan pedagang tersebut lalu melepas helm. Kulangkahkan kakiku masuk ke dalam warung sederhana dan kupesan sebuah kelapa muda agar dapat melegakan tenggorokanku.

Tak jauh dari pandanganku. Di sudut deretan pedagang kaki lima, aku melihat seorang rombongan anak jalanan yang sangat lesu, baju mereka yang sudah tak layak pakai, rambut aca-acakan, baju kumuh, wajah mereka yang kelihatan sangat rembes dan kaki kecil mereka yang berceker tak memakai sandal seperti terbakar oleh aspal panas. Beberapa anak membawa gitar kecil sebagian lagi menyumbangkan suara indah mereka. Mereka semua tak kenal lelah dan tetap bersemangat menghibur pelanggan kaki lima yang di sibukkan memilih barang-barang dan menawar-nawar harga barang yang akan mereka beli.

Sebuah kelapa muda yang telah sedia di hadapanku segera aku hisap dengan sebatang sedotan. Tenggorokanku terasa sangat segar. Entah mengapa, pandanganku tak lepas dari pengamen-pengamen kecil yang sibuk dan serius menghibur setiap orang yang lewat di hadapan mereka. Selembar kain mereka sodorkan seusai menyumbangkan beberepa lagu. Sepertinya tak banyak yang mereka dapatkan. Setiap orang hanya memberi sekeping uang logam yang jumlahnya hanya seribu paling besar.

Sebelumnya, aku memang tak pernah melewati jalan sekitar sini. Baru kali ini aku bertekad melewatinya. Mungkin aku bisa mendapatkan photo-photo yang lebih menarik dari tempat sebelumnya. Ternyata memang benar. Bukan hanya pemandangan dan suasananya yang menarik perhatianku. Namun, seluruh penduduk yang ada di sini juga sangat ramah-ramah walaupun belum saling mengenal. Aku yang baru kali ini melewati jalan ini terasa sudah seperti keluarga sendiri.

***

Kuambil dompet yang terselip di kantong celanaku untuk membayar sebuahkelapa muda yang seharga dua ribu saja. Kamera, aku kalungkan di leherku. Langkahku tak langsung ke arah scoter yang aku parkirkan. Melainkan, berjalan ke arah rombongan pengamen cilik yang masih terus melantunkan suaranya. Sebelumnya, aku juga mengambil beberapa gambar dari kejauhan. Tema photoku kali ini tentang pengamen cilik. Sepertinya menarik. Dari segi apapun aku mencari hasil gambar yang sangat meksimak dari berbagai kejadian-kejadian pengamen di sekitar jalan R.A Kartini ini.

Dua langkah lagi aku sampai di hadapan kumpulan pengamen yang beristirahat di pinggir jalan sambil menyaksikan keramaian kota yang terpasang di depan mata mereka.

“Hai. Adik-adik” Sapaku kepada mereka. Aku tunggu beberapa menit tak juga ada tanggapan dari mereka maupun salah satu diantara mereka.

“Hai. Selamat siang Adik-adik” Aku kembali menyapa mereka lagi. Sama, tak ada yang memerhatikanku.

“Hai” Sapaku lagi. Ternyata sama juga. Mereka tetap saja membisu kepadaku. Seluruh pandangan mereka tetap terpaku pada kendaraan yang berlalu lalang di hadapan mereka. Mereka tak peduli dan risih sekalipun saat asap kendaraan mengenai wajah mereka begitu pun debu-debu yang mengotoro wajah mereka.

“Hai. Selamat siang Adik-adik” Aku kembali menyapa mereka dengan suara yang sedikit agak keras. Sebab, mungkin mereka tak mendengarku karena suaraku kalah dengan suara kendaraan yang sangat bising melawati di hadapan mereka.

“Ha ?” Ucap salah seorang pengamen cilik itu. Sebut saja namanya Dede. Ia melihat ke arahku dengan kaget. Aku hanya membalasnya dengan senyuman dan langsung ikut duduk di trotoar pinggir jalan. Aku duduk tepat di samping kanannya.

“Adik lagi ngapain di sini ?” Tanyaku kepada Dede. Dede masih terdiam melirik mataku. Ekspresi wajahnya masih kaget melihatku. Sementara, kawan-kawannya yang lain melihat ke arahku. Aku tersenyum kepada mereka semua.

“Hai” Sapaku kepada mereka semua sembari melambaikan tangan di hadapan mereka. Wajah mereka lucu-lucu saat melihatku keheranan. Hampir sama semuanya pada bengong. Aku tertawa melihat ekspresi wajah mereka. Tiba-tiba saja aku akngsung mengambil gambar dari ekspresi wajah mereka yang nmasih bengong saja.

“Wow. Keren juga” Kataku melihat hasil gambar ekspresi dari wajah mereka. Dede dan kawan-kawannya itu masih saja bengong. Mungkin mereka heran dengan kelakuanku di hadapan mereka.

“Heh !” Aku memukul pelan pundak Dede agar dapat mengagetkannya.

“Eh. Iya”

“Adek-adek lagi ngapain di sini kog dari tadi bengong ? Nggak lanjut ngamen lagi kah ?” Tanyaku kepada mereka.

“Oh. Kami lagi istirahat. Kamu siapa ? Kog tahu-tahu nyapa Kami di sini ? nggak malu di lihat banyak orang ?” Tanya salah seorang teman Dede yang ternyata bernama Fatir. Aku tak menjawab pertanyaannya. Tapi, aku hanya tersenyum dengan mereka. Mereka pun membalas senyumku dengan riang.

“Ya. Kamu siapa ?” Tanya Arin. Si gadis kecil berambut pirang dan keriting itu.

“Nama kakak Marsya. Panggil Saya kakak aja ya” Jawabku.

“Baik Kak” Jawab si Rangga yang terbilang paling kecil sendiri diantara mereka berlima.

“Bagus !” Jawabku singkat.

“Tujuan Kakak kemari mau ngapain ?” Tanya Luci. Seorang gadis tomboy yang paling besar di antara mereka semua. Nadanya bertanya seperti akan menantangku.

“Kakak Cuma mau berteman aja dengan kalian. Boleh ?” Jawabku dan aku kembali bertanya apa aku boleh bergabung bersama mereka.

“Boleh banget, Kak” Mereka menjawab semua.

“Boleh kakak tahu di mana rumah kalain ?” Tanyaku.

“Boleh. Tapi, setelah Kami selesai mengamen” Jawab Arin dengan polos. Kakak-kakanya hanya tersenyum melihatnya dan melihatku.

“Ya sudah Kakak bantu ya mengamennya. Ayo kita kerja lagi !” Ajakku. Aku berusaha untuk membantu mereka mencari nafkah. Mudah-mudahan dengan bentuanku, penghasilan mereka jadi semakin bertambah hari ini. Supaya, mereka bisa makan.

Panas matahari yang semakin membara tak menyurutkan niat mereka untuk tetap mengamen dari tempat satu ke tempat lainnya. Kendaraan yang berlalu lalang merupakan peluang besar untuk mereka mendapat penghasilan yang lebih. Saat lampu merah menyala mereka sedah siap di pinggiran jalan untuk menghibur semua pengendara jalan. Aku merasa kelelahan sat mengikuti mereka berjalan kesana-kemari. Sedangkan, aku melihat tek secuilpun ada kelelahan di wajah mereka. Yang ada hanya keriangan.

Keramaian kota malah semakin memeberi mereka kesenangan tersendiri sebagai seorang pengamen cilik jalanan. Padahal, resiko yang harus di tanggung di keramaian jalan sangt besar. Selain angka kecelakaan yang semakin tinggi, mereka juga harus berhati-hati saat razia datang untuk membawa mereka pergi dari habitat mereka sebagai pengamen.

***

Nasib pengamen memang tidak kecil. Belum lagi, jikalu mereka tidak mendapatkan hasil, terpaksa mereka tidak makan seharian. Malang sekali nasib mereka.

Saat aku merasa kelelahan membantu mereka alu putuskan untuk beristirahat sejenak di pinggir jalan sambil menikmati pemandangan keramain kota du jalan R.A Kartini ini. Karena bete, aku mengambil kamera dan memotret beberapa gambar aksi pengamen yang sibuk menghibur pengguna jalan.

Berjam-jam aku menunggu mereka, belum juga mereka berhenti mengamen. Scoter yang kuparkirkan aku pindah di pohon tempat aku beristirahat. Hari sudah semakin sore, anak-anak kembali menghampiriku.

“Kak, Kami sudah selesai. Maaf bikin Kakak lama menunggu” Ucap Dede dengan ekspresi wajah yang bersalah.

Aku hanya tersenyum memaklumi mereka.

“Ayo, sekarang Kita pulang” Ajak Fatir tak sabar ingin kembali ke rumahnya.

“Iya. Ayo, katanya kakak mau ikut ?” Lanjut Rangga sembari menarik tanganku.

***

Perjalanan menuju perkampungan mereka ternyata tidaklah dekat harus melewati beberapa pos ronda. Kami semua berjalan kaki. Sementara, scotrku kami tuntun bersama-sama. Melawati sungai berarus deras dan jembatan kayu. Dalam benakku berkata, ini pengalamanku pertama kalinya mengenal pegamen cilik.

Di sepanjang perjalanan, tak sedikit yang dapat menarik perhatianku untuk mengambil beberapa gambar menarik yang aku temui. Setengah jam perjalanan. Barulah kami sampai di perkampungan. Mungkin tak aneh bagi mereka. Tapi, anaeh bagiku. Perkampungan kumuh dan sangat kotor. Penuh dengan berbagai sampah yang berbau busuk. Perkampungan ini tak lain adalah perkampungan para pemulung. Jauh dari kota tadi. Gedung-gedung megah terlihat begitu menjulang tinggi. Aku yang sampai di perkampungan itu, mulutku hanya membisu. Lebih baik aku terdiam dari pada aku berbicara nantinya malah menyinggung perasaan mereka semua. Secangkir teh hangat telah di siapkan oleh Luci.

“Ini Kak minumnya. Maaf beginilah keadaan tempat tinggal Kami” Kata Dede.

“Oh, tidak masalah kog Dek” Jawabku.

Tanpa berpikir panjang, aku langsung minum secangkir teh hangat di hadapanku. Sebenarnya, aku jadi tidak selera minum. Karena, banyak sampah yang berbau menusuk hidungku. Tapi, aku juga tidak ingin mereka kecewa jikalau aku menyia-nyiakan hidangan dari mereka untukku.

“Boleh Kakak mengambil gambar dari kehidupan di kampung ini ?” Tanyaku.

“Oh, boleh Kak. Silahkan” Jawab Luci dengan senyumannya yang ternyata manis itu. Padahal, awalnya dia mahal sekali untuk mengeluarkan senyumnya itu kepadaku.

Suasana kehidupan di kampung ini sangat berbeda dari yang lainnya. Sebagai seorang photograper, aku harus cerdas dalam memilih tempat indah yang cocok di photo tetapi, tempat tersebut juga harus unik dan menarik.

Tanpa terasa waktu menunjukkan pukul lima sore. Sudah waktunya aku kembali ke rumah. Sebelumnya aku berterimakasih kepada pengamen-pengamen cilik tersebut. Dari mereka aku bisa mendapatkan pengalaman-dan pelajaran yang baru.

***

Senja di sore hari menyuruhku unutuk segera pergi meninggalkan tempat itu. Oarang tuaku pastii sudah menungguku di rumah. Setelah berpamitan dengan seluruh penduduk perkampungan itu. Aku segera menyalakan skoterku dan melaju menelusuri jalan yang berkelok-kelok. Inilah pengalamanku hari ini. Sangat melelahkan. Namun, sangat begitu menyenangkan.
Share this article :

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

 
Support : Creating Website | Johny Template | Mas Template
Copyright © 2011. INFORMATIKA SMK N 2 TARAKAN - All Rights Reserved
Template Modify by Creating Website
Proudly powered by Blogger